Salam Redaksi

Selamat datang di Suara Demartha

Kamis, 10 November 2011

KEGAWAT DARURATAN GINEKOLOGI

KEGAWATDARURATAN GINEKOLOGI

Kasus Emergensi adalah kasus yang memerlukan penanganan segera yang bila terlambat dapat menyebabkan kematian. Didalam bidang ginekologi, terdapat beberapa kasus yang termasuk ke dalam kegawat daruratan antara lain :

1. Kehamilan ektopik terganggu

2. Kista ovarium terpuntir

3. trauma

4. Kista pecah

5. Salfingo-oofaritis akut

Untuk itu kita perlu mengenal dan dapat memanajemen kasus emergensi ginekologi secara tepat sehingga dapat menjamin hidup, kesehatan, fungsi seksual dan menjamin fertilitas si pasien

1.1.KET

1.1.1. Definisi

Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-lokasi selain cavum uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.


1.1.2. Epidemiologi

Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade ini. Dengan berkembangan alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik, karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan uterin, bukan kehamilan ektopik. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan keterjadian kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan ektopik. Di Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan, dan 85-90% kasus kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.


1.1.3. Etiologi

Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain itu ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Dikatakan juga bahwa meningkatnya usia ibu akan diiringi dengan penurunan aktivitas mioelektrik tuba. Teknik-teknik reproduktif seperti gamete intrafallopian transfer dan fertilisasi in vitro juga sering menyebabkan implantasi ekstrauterin. Ligasi tuba yang tidak sempurna memungkinkan sperma untuk melewati bagian tuba yang sempit, namun ovum yang telah dibuahi sering kali tidak dapat melewati bagian tersebut. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.


1.1.4. Patofisiologi Kehamilan Tuba


Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.

Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella.

Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah:

1) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi,

2) abortus ke dalam lumen tuba, dan

3) ruptur dinding tuba.

Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.

Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa. Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen.

1.1.5. Manifestasi Klinik Kehamilan Tuba

Gejala Subjektif

Sebagian besar pasien merasakan nyeri abdomen, keterlambatan menstruasi dan perdarahan per vaginam. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh. Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.

Temuan objektif

Pada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan umum yang buruk karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi nadi meningkat. Darah yang masuk ke dalam rongga abdomen akan merangsang peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda rangsangan peritoneal (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire). Bila perdarahan berlangsung lamban dan gradual, dapat dijumpai tanda anemia pada pasien. Hematosalping akan teraba sebagai tumor di sebelah uterus. Dengan adanya hematokel retrouterina, kavum Douglas teraba menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio). Di samping itu dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.


1.1.6. Diagnosis

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. KET harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut bawah yang gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah keterlambatan haid, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang porsio, atau massa di samping uterus. Adanya riwayat penggunaan AKDR, infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya memperkuat dugaan KET. Namun sebagian besar pasien menyangkal adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas.

Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring (massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan evaluasi kavum pelvis dengan lebih baik, termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas dan massa pelvis.

Kadar hCG membantu penegakan diagnosis, meskipun tidak ada konsensus mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable, dan peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable. Fenomena ini, bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong, mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis, karena dapat mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan. Oleh sebab itu, umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis cepat kehamilan.

Dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih akurat, kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun demikian, tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas USG atau bila pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.

Kadar progesteron pada kehamilan nonviable memang menurun, namun penurunan kadar progesteron tersebut tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens.

Diagnosis juga dapat ditegakkan secara bedah (surgical diagnosis). Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase tersebut dianjurkan pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan abortus dari kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml, β-hCG meningkat abnormal (< 2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak terdeteksi dengan USG transvaginal. Diagnosis secara bedah juga dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi. Laparotomi umumnya dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien tidak stabil.


1.1.7. Diagnosis Banding

Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar bidang obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding KET. Kelainan bidang obstetri-ginekologi yang didiagnosis banding dengan KET antara lain abortus, kista ovarii terpuntir, perdarahan uterin disfungsional, endometriosis, salpingitis, ruptur kista luteal dan penyakit trofoblastik gestasional. Penyakit di luar bidang obstetri-ginekologi yang manifestasinya menyerupai KET adalah apendisitis.


1.1.8. Penatalaksanaan Kehamilan Tuba

Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.

Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.

Penatalaksanaan Ekspektasi

Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien -hCG. Padabdengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar -hCG yangbpenatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan -hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak adabektopik dengan kadar perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak -hCG awal harus kurangbmelebihi 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar dari 1000 mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.


Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.


Methotrexate

Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut.Angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm.. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.


Actinomycin

Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.


Larutan Glukosa Hiperosmolar

Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu.

Penatalaksanaan Bedah

Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.


Salpingostomi

Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.

Salpingotomi

Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali.

Salpingektomi

Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:

1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu)

2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif

3) terjadi kegagalan sterilisasi

4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya

5) pasien meminta dilakukan sterilisasi

6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi

7) kehamilan tuba berulang

8) kehamilan heterotopik, dan

9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.

Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.


Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi

Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.

1.2.Kista Ovarium Terpuntir

Torsi/putaran tangkai dapat terjadi pada tangkai kista ovarium dengan diameter 5 cm atau lebih. Kondisi yang mempermudah torsi adalah kehamilan dan sesudah persalinan.

Pada kehamilan, uterus yang membesar akan merubah letak kista, sedangkan pada sesudah persalinan dapat terjadi perubahan mendadak dalam rongga abdomen.

Torsi pada tangkai tumor akan menyebabkan gangguan sirkulasi karena vena mudah tertekan, terjadi bendungan darah dalam tumor yang berakibat tumor makin besar dengan perdarahan didalamnya. Jika torsi berlanjut akan terjadi nekrosis hemoragik dan jika dibiarkan dapat terjadi robekan pada dinding kista dengan akibat perdarahan intra adominal atau peradangan sekumder dengan manifestasi klinik dengan akut abdomen.

Gejala klinis :

  • Sebelumnya ada terasa ada bengkak pada perut bagian bawah
  • Adanya riwayat massage/pijat abdomen
  • Bisa disertai dengan hamil
  • Nyeri perut mendadak, kadang disertai mual dan muntah
  • USG : ada gambaran kista

Penatalaksanaan : laparotomi → kista diangkat

1.3.Perlukaan Alat Genital

1.3.1. Perlukaan akibat persalinan

Terutama terjadi pada primi gravid

a. Vagina

Pada dinding depan vagina sering kali terjadi di sekita orifisium uretra ekternum & klitoris.Perlukaan klitoris biasanya tidak dapat diatasi hanya dengan menjahit karena dapat menimbulkan perdarahan yang hebatsehingga perlu dilakukan penjepitan dengan cunam selama beberapa hari.

Robeknya vagina sepertiga atas umumnya merupakan lanjutan servin k uteri.Pada umumnya robekan vagina terjadi karena regang jalan lahir yang berlebih-lebihan dan tiba2 ketika janin dilahirkan baik kepala maupun vagina.Juga kadang2 robekan lebar terjadi akibat ekstraksi dengan forceps.Bila terjadi perlukaan pada dinding vagina,perdarahan segera setelah lahir.Perdarahan demikian umumnya adalah perdarahan arterial sehingga harus segera dijahit.

b. Perineum

Derajat perlukaan pada perineum dibagi :

Tingkat I : terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum

Tingkat II : lebih dalam dan luas ke vagina serta perineum dengan melukai fasia serta otot2 diafragma urogrnital.

Tingkat III : muskulus sfingter ani externus terputus di depan.

Perlukaan diafagma urogrnitalis dan muskulus levator ani dapt terjadi tanpa luka pada kkulit perineum/vagina sehinga tidak tampak dari luar hal ini dapat melemahkan otot dasar pangul sehingga terjadi prolaps genitalis.Dapat terjadi perdarahan arterial yang merembes.

Pada luka derajat I luka tidak perlu dijahit,pada derajat II dijahit dan pada derajat III dijahit dengan menemukan ke 2 ujun sfingter ani externus. nilai tunus otot.

c. Serviks uteri

Dapat menimbulkan perdarahan banyak jika ke lateral kkarena dapat mengenai ramus desenden arteri uterine.Sering terjadi pada persalinan buatan dengan pembukaan belum lengkap ,juga pada partus prespitatus dimana kontaksi kuat dan sering yang mendorong anak ke luar jerjadi saat pembukaan belum lengkap.

d. Korpus uteri

Merupakan perlukaan yang paling berat,dapat terjadi selama kehamilan/persalinan.Robekan dapat pada SBR ,korpus uteri,dinding uterus yg lemah pada bekas SC atau miomektomi,persalinan buatan seperti ekstraksi cunam,versi dan ekstraksi.

Secara anatomic

· Robekan inkomplet àendometrium dan miometrium sedangkan perimetrium utuh

· Robekan komplet àendometrium,miometrium,perimetrium robek dan ada hubungan langsung anara kavum uteri dengan rongga perut

Pada robrkan komplet nyeri mendadak,anemia,syok,kontraksi hilang ,BJA menghilang,bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu.

Pada robekan inkomplet umumnya lebih ringan,anemis,syok,perdarahan keluar tdak banyak dan adanya tumor di parametrium.

1.3.2. Perlukaan Akibat Koitus

Perlukaan yang terjadi pertama adalah robeknya selaput hymen,biasanya terjadi pada dinding belakang dan menimbulkan sedikit perdarahan dan dapat berhenti spontan walaupun tidak jarang memerlukan pertolongan untuk menghentikanya.

Pada keadaan tertntu perlukaan dapat lebih berat ,hal ini terjadi pada koitus secara kasar dank keras,misalnya oleh laki yang psikopat seksual,mabuk ,sehingga menimbulkan perlukaan vulva dan vagina yang luas dengan perdarahan yang banyak.

Terutama pada wanita menolak melakukan hunbungan seksual,Penolakan disertai dengan adduksi pada kedua paha,lodorse lumbal,dan ketegangan pada otot2 pelvis.Wanita sendiri mempunyai factor resiko untuk mengalami trauma pada koitus adalah hipoplasia genitalis,penyempitan introitus vaginae,vagina kaku,hymen yang tebal

Robekan fornik posterior vaginae sering terjadi.Apabila wanita mengalami orgasme ketika koitus,bias terjadi kenaikan tekanan intra abdomen,sehingga kavum douglasi menonjol.Tekanan penis yang berulang pada kavum Douglasi dan terjadilah robekan forniks posterior,

Wanita yang telah mengalami histerektomi total,vagina bagian atas menjadi kaku dan pendek, sehingga lebih mudah terjadi perlukaan forniks posterior.Foktor peredisposisi lainya antara lain koitus pada kala nnifas dan pascamenopuause.Perlukaan akibat coitus di forniks posterior umumnya melintang,perlukaan ini walaupun jarang dapat menembus kavum douglas

1.3.3. Perlukaan akibat trauma Aksidental

Letak jalan lahir yang terlindung menyebabkan jarang terjadi perlukaan langsung.Perlukaan langsung terjadi akibat patah tulang panggul,atau jatuh duduk dengan genitalia eksterna kena suatu benda.

a. Hematoma

Bentuk tersering adalah hematoma vulva,hematoma berukuran kecil untuk kemudian menjadi cepat membesar .Hematoma yang terlihat kecil belum berarti bekuan di dalamnya sedikit.Perdarahan dapat menjalar sekitar vagina dan mengumpul di dalam ligamentum latum.Bila hematoma besar dapat terjadi syok dan anemia,kulit permukaan hematom bewarna kebirubiruan,mengkilat,tipis dan mudah robekma kecil cukup diberi kompres dan analgetika sambil diobservasi apakah hematom bertambah besar.Jika bertambah besar hematom hendaknya segera di buka dan dilakukan pengeluaran bekuan darah, pengikatan aterial yang terputus dan pemasangan tamponade.

b. Perlukaan

Vagina dan vulva dapat terjadi perlukaan bila alat2 tersebut terkena benda secara langsung.Kadang perlukaan ini dapat mengenai alat2 sekitar seperti uretra,kandung kencing,rectum,atau kavum douglasi.

1.3.4. Perlukaan akibat benda asing

Perlukaan pada vagina atau uterus bias terjadi apabila digunakan benda untuk melakukan abortus provokatus,karena benda yang tidak steril tersebut dapat terjadi infeksi septic dengan segala akibatnya selain perdarahan yang ditimbulkan

1.3.5. Perlukaan akibat bahan kimia

Terutama disebabkan oleh :l

a. Pembilasan ( douching) dengan cairan panas

b. Kesalahan teknik dalam pemakaian elektrokauter

c. Bahan-bahan kimia

Pembilasan dengan cairan yang panas dapaat menimbulkan luka bakar yang superfisialis,kemudian lepasnya kuit dan mukosa sehinga terjadi ulkus ,yang jika sembuh menyebabkan tumbuhnya sikatrik dan stenosis pada vagina.

Pemakaian elektrokauter untuk pengobatan erosion pada porsio uteri,jika kurang hati dapt menyebabkan stenosis/atresia pada ostium uteri eksternum.

Bahan2 asam terbagi :

· Asam anorganik : asam sulfat,asam nitrat,asam klorida

· Asam organic : asam oksalat & sam asetat

Bahan2 ini umumnya dipakai dalam usaha mengugurkan kandungan,yang jika dimasukan bersifat korosif kuat dan dapat diserap tubuh,ganguan keseimbangan elektrolit dan gangguan pembekuan darah.

1.4.Kista Pecah atau Robekan dinding kista

Terjadi pada torsi tangkai kista ovarium dan oleh karena trauma seperti jatuh, diurut, pukulan pada perut, koitus. Apabila kista hanya mengandung cairan serous, rasa nyeri akibat robekan dan iritasi peritoneum tidak begitu hebat, tapi robekan pada dinding kista disertai dengan perdarahan yang timbul mendadak dan berlangsung terus menerus kedalam rongga abdomen, maka akan menimbulkan gejala nyeri yang terus menerus dengan akut abdomen.

Pada kista pecah, misalnya pada kista coklat/kista endometriosis, pecahnya kista terjadi akibat perlengketan-perlengketan yang bersifat infiltratif dan makin menipisnya dinding kista karena karena makin bertambahnya darah yang bertumpuk dalam rongga kista.

Gejala klinis :

  • Sebelumnya ada rasa bengkak pada perut bagian bawah
  • Nyeri pelvis sampai seluruh abdomen
  • Nyeri sangat mendadak

Penatalaksanaan : laparotomi → kista dibuang

1.5.Salpingo­oforitis Akut

Radang pada tuba Fallopii dan radang ovarium sering terjadi bersamaan. Radang itu kebanyakan akibat infeksi yang menjalar ke atas lewat uterus, walaupun infeksi ini bisa datang dari tempat ekstravaginal lewat jalan darah, atau menjalar dari jaringan­jaringan di sekitarnya.

Salpingo­oforitis akut yang disebabkan gonorea sampai ke tuba dari uterus melalui mukosa. Pada endosalping tampak edema serta hiperemi dan infiltrasi leukosit, pada infeksi ringan epitel masih utuh tetapi pada infeksi yang lebih berat tampak degenerasi yang kemudian menghilang pada daerah yang agak luas dan ikut juga terlihat lapisan otot dan serosa. Dalam hal yang akhir ini dijumpai eksudat yang purulen yang dapat keluar melalui ostium tuba abdominalis yang menyebabkan peradangan disekitarnya atau peritonitis pelvika.

Akan tetapi pada gonorea ada kecenderungan perlengketan fimbria pada ostium tuba abdominalis yang menyebabkan penutupan pada ostium itu, nanah yang terkumpul dalam tuba menyebabkan terjadinya piosalping. Pada salpingitis gonoroika akuta ada kecenderungan bahwa gonokokus menghilang dalam waktu singkat, biasanya dalam wktu kira­kira hari, sehingga pembiakanya negative.

Pada salpingitis akut piogenik banyak ditemukan pada infeksi puerperal atau pada abortus septic, akan tetapi dapat disebabkan pula berbagai tindakan seperti kerokan. Infeksi dapat disebabkan oleh bermacam­macam kuman seperti Streptokokus, Stafilokokus, Escheria koli, Klostridium welchii dan lain­lain. Infeksi ini menjalar dari serviks uteri atau kavum uteri dengan jalan darah atau limfe ke parametrium terus ke tuba dan dapat pula ke peritoneum pelvic. Di sini timbul salpingitis intersisialis akut, mesosalping dan dinding tuba menebal dan menunjukkan infiltrasi leukosit tetapi mukosa sering normal. Hal ini merupakan perbedaan yang nyata dengan salpingitis gonoroika, dimana radang terutama terdapat pada mukosa dengan sering terdapat penyumbatan pada lumen tuba. Dalam hubungan ini pada salpingitis piogenik kemungkinan lebih besar bahwa tuba terbuka setelah penyakitnya sembuh.

Pada infeksi septic dengan kuman­kuman yang sangat pathogen, gejala­gejala umum lebih menonjol karena terjadinya septicemia atau peritonitis umum, penderita sakit keras dengan sehu dan leukositosi tinggi.

Gambaran klinik salpingo­oforitis akut ialah demam, leukositosis, dan rasa nyeri pada sebelah kiri atau kanan uterus, penyakit tersebut tidak jarang terdapat pada kedua adneksa. Setelah lewat beberapa hari kadang dijumpai pula tumor dengan batas yang tidak jelas dan yang nyeri tekan.

Diagnosis diferensial dengan apendisitis akut, pielitis akut, torsi adneksa, dan kehamilan ektopik yang terganggu. Biasanya lokasi nyeri tekan pada apendisitis akut lebih tinggi daripada adneksitis akut akan tetapi apabila proses agak meluas perbedaan menjadi kurang jelas. Jika terdapat keragu­raguan, perlu diadakan laparotomi percobaan, agar dapat dicegah peritonitis umum akibat apendesitis akut.

Tempat rasa nyeri pada pielitis akut lebih tinggi dan pada daerah ginjal bias juga dijumpai nyeri tekan. Pemeriksaan air kencing kateter menunjukkan banyak sel­sel radang pada pielitis. Tetapi, karena edema dan penutupan ureter yang neradang mungkin air kencing yang diperiksa saat itu bebas dari sel­sel radang.

Pada torsi adneksa timbul rasa nyeri mendadak, dan apabila defence musculaire tidak terlalu keras, dapat diraba tumor nyeri tekan yang nyata. Suhu dan leukositosi juga tidak seberapa tinggi. Ruptur tuba pada kehamilan ektopik terganggu disertai dengan gejala­gejala yang mendadak, sangat nyeri, dan anemi, umumnya peristiwa ini tidak menimbulkan kesukaran dalam diagnosis diferensial. Yang lebih sulit ialah diagnosis abortus tuba. Umumnya pada abortus tba suhu tidak naik atau hanya sedikit naik dan leukositosis juga tidak seberapa tinggi. Pungsi kavum Douglas dapat memberi kepastian apakah ada abortus tuba atau tidak.

Terapi pada salpingo­oforitis akut terdiri dari istirahat baring, perawatan umum, pemberian antibiotik, dan analgetik. Dengan terapi tersebut penyakit bias sembuh atau menjadi menahun. Jarang sekali salpingo­oforitis memerlukan terapi pembedahan. Pembedahan perlu dilakukan :

  1. Jika terdapat rupture piosalping atau abses ovarium
  2. jika terdapat gejala­gejala ileus karena perlengketan
  3. Jika terdapat kesukaran untuk membedakan antara apendisitis akut dan salpingo­oforitis akut ­ ­ ­

1 komentar: